Jum’at, 15 Desember 2017
05.00 AM
Dalam perjalanan ke Surabaya saya bertemu dengan sepasang suami istri yang akan berangkat ke Mojokerto. Si Ibu meminta saya untuk memberikan petunjuk ke arah Mojokerto dengan bus ekonomi. Karena belum pernah keluar kota. Niat awal yang ingin naik bus patas (karena harus mengejar jam masuk kantor) saya urungkan, tak tega melihat si Ibu dan Bapak kebingungan di tengah jalan nanti. Maka saya tawarkan untuk naik bus ekonomi bareng-bareng.
Dalam perjalanan saya akhirnya tahu, bahwa si Ibu akan menjenguk anaknya yang tengah sakit di rantau. Si anak tak bisa pulang karena badannya lemas. Si Ibu khawatir dengan keadaan anaknya. Si Ibu memutuskan datang ke kota membawa perlengkapan seadanya dengan penampilan yang sederhana. Barangkali seperti Ibu saya. Raut wajahnya menunjukkan sedih, cemas dan tidak sabar ingin segera sampai di tujuan. Si Bapak mecangklong tas ransel yang mungkin berisi baju dan perlengkapan lainnya. Kalau ini saya tahu, Bapak saya tidak akan seperti itu. Paling-paling hanya akan membawakan tas yang dijinjing Ibu saya.
Lewat percakapan singkat di perjalanan saya akhirnya tahu (lagi), bahwa kita masih tetangga desa, dan masih ada ikatan darah yang meski jauh tapi bisa dibilang saudara. Mereka adalah saudara dari Budhe saya.
Keduanya turun di terminal Mojokerto dan beberapa tukang ojek mengerumuninya. Keduanya mengingatkan saya lagi dengan orang tua saya. Saya teringat dengan Ibu dan Bapak, sepanjang saya kuliah di Surabaya, mereka hanya dua kali datang ke Surabaya. Pertama waktu raportan semester satu (yang hanya boleh diambil oleh orang tua) dan kedua saat saya wisuda. Ya, pendamping saya dulu ya Bapak itu. Laki-laki yang teramat saya cintai, tapi tidak pernah kuasa untuk mengatakan.
Seandainya itu tadi Ibu dan Bapak saya, saya juga akan tidak tega. Membiarkan mereka yang sudah senja usianya, pergi jauh-jauh ke kota. Tapi katanya rasa cinta mengalahkan segalanya. Sejauh apapun jarak sang anak berada, Ibu akan berjalan ke arahnya. Kalau saya di Surabaya dan bilang sedang sakit, ga ada yang jaga, ga bisa kemana-mana, ga kuat pulang, pasti hati Ibu akan khawatir juga dan kemudian entah bagaimana caranya beliau mengupayakan sesuatu untuk saya. Kemudian saya teringat lagunya Iwan Fals –Ibu
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh,
lewati rintangan, demi aku anakmu,
Ibuku sayang, masih terus berjalan,
walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah,
Pagi itu saya telat datang ke kantor, karena jam 10.00 baru sampai di Bungurasih. Tapi saya bersyukur, setidaknya mereka berdua tidak tersesat di perjalanan.
###
Diluar sana tentu banyak Ibu-Ibu dan orang tua yang selalu memberikan kebahagian-kebahagiaan untuk anaknya semampu yang dia bisa. Mungkin wujudnya tidak sama. Tidak selalu berupa kunjungan. Ada yang lewat masakannya, telfonnya, sms singkatnya, dan terlebih doa-doa yang tak henti dipanjatkannya setiap tarikan napasnya.
Teruntuk semua Ibu-Ibu dimanapun berada. Terlantun terima kasihku dan doa-doa baikku untuk mereka semua. Ibu-ibu orang terdekatku, Ibumu, Ibunya, Ibu-Ibu kalian semua, yang telah melahirkan kalian sehingga kini bertemu denganku. Siapapun Ibu kalian, semoga kebaikan senantiasa menyertai beliau-beliau.
Tulisan ini dalam rangka memeriahkan challenge Obrolin.
#OSC #OBROLIN #YUKMENULIS
Ikha lagunya JLEB banget,lagunya Iwan Fals yang bikin nangis.
LikeLiked by 1 person
Iyaa Mbak, aku kalau lg kangen Ibu denger lagu itu dr pengamen bis saja bisa nangis. Nyentuh banget lagunya.
LikeLike
Parah bisa bikin sedih gtu yaa😭😭
LikeLiked by 1 person
Iya Nu, 😢
LikeLike
Amin…sedih sekali mbak ikha..
LikeLiked by 1 person
Ruri.. sehat kan?
Salam buat Mama yaa. Semoga sehat selalu.
LikeLiked by 1 person
Alhamdulillah, mbak Ikha. Amin…amin… 🙂
mbak ikha juga smoga diberikan kesehatan selalu dan sukses Insya Allah.. 🙂
LikeLiked by 1 person
Aamiiin yaa Rabb..😘😘😘
LikeLike
Apasih ini. Kok bagus banget huhuhu
Nggak ada lagi yang bisa seorang anak balaskan agar kasih sayang ibu setimpal
LikeLiked by 2 people
Iyaa Del, nggaak ada. 😢
LikeLiked by 1 person
Sukak bacanya, mbak ikhaaa 😢
LikeLiked by 1 person
Makasih Mbak Mathar 😊
LikeLike
Samasamaa mbak :))
LikeLiked by 1 person
Ternyata masih saudara ya mbak 😊
LikeLiked by 1 person
Iyaa Mbak, ga nyangka. 😊
LikeLike
inget dulu pas latihan dasar, pas panitia berorasi tentang ibu banyak yang pada nangis, lah aku kok biasa saja ya…. habis gimana, saya denger panitia lain yang di belakang pada ketawa cekikikan.
thank dan salam kenal
LikeLiked by 1 person
Nah, saya juga pernah ngalami ini mbak. Panitia yg dibelakang ketawa2. Padahal yg didepan serius.
Salam kenal juga mbak Ina.
LikeLike
Saya kalau jalan2 enak suka ingat juga, mereka suka ngasih ongkos pas anaknya jalan2 tapi mereka ga pernah jalan2 😢
LikeLiked by 1 person
Iya mbak, coba sekali waktu jalan2 bareng mereka. 😢
LikeLike
Nice…
LikeLiked by 1 person
Thanks..
LikeLike
you are welcome an you can visit my blog too…
LikeLiked by 1 person
Yes, I did it. 🙂
LikeLike
Thank you…😊
LikeLiked by 1 person
You’re welcome.. 😊
LikeLike
Aku sampe ga bisa berkata-kata baca ini… Well done, Ikhaaa!
LikeLiked by 1 person
Makasih, Bageuuur 🙂
LikeLike
Sepertinya tulisan ini mengandung debu, sampe aku kelilipan gini Kha 😭
LikeLiked by 2 people
Maafkan Geur. 😂
Nanti-nanti aku peringatkan di paragraf pembuka buat pake kacamata ya. Biar ga kelilipan lagi.
LikeLiked by 1 person
Terharu 😅
LikeLiked by 2 people
😀
Salam kenal kak, terima kasih sudah mampir.
LikeLiked by 1 person
Nice 💕
LikeLiked by 1 person