Terima Kasih :)

“Katakah Dadah 2017”

Kata mbak – mbak cantik di suatu sore di tanggal 31 Desember~

“Dadah 2017. Tapi tidak orang-orangnya. 2017 itu penuh dengan sesuatu. Aku senang bertemu dengan 2017.”

Balas saya lewat telegram.

Sejenak saya teringat tahun lalu, tahun lalu saya mengakhiri 2016 di rumah juga. Demi bisa tidur nyenyak tanpa gangguan kembang api dan terompet di kota. Tahun ini saya memilih hal yang sama, pulang. Terlebih karena saudara sepupu saya menikah di tanggal 2 Januari. Jadi mau tidak mau saya harus pulang. Dan saya senang bisa tidur nyenyak tanpa gangguan kembang api di malam pergantian tahun. Setelah capek seharian bolak balik ke pasar membeli sayur mayur untuk keperluan hajatan. Yeaay.

Terus… nulis apa ya ? Hmm..

Saya bingung mengawali postingan di blog ini. Wkwkwk. Aslinya bukan karena tahunnya ganti sih. Padahal ya nulis tinggal nulis saja, cerita tinggal cerita saja, apa susahnya, ya. Banyak cerita akhir-akhir ini yang ingin diceritakan, tapi semakin banyak yang ingin diceritakan jadi susah sekali untuk diceritakan. Halah, mbulet.

Jadi…liburan saya akhir tahun (sekalian awal tahun) ini penuh warna, pagi-pagi di tanggal 1 Januari saya sudah diminta ke pasar dan membeli berkilo-kilo kubis. Saya baru tahu bahwa harga beras sudah naik, cabe naik, dan wortel di tempat saya langka sekali. Apalagi mencari brokoli, satu pasar hanya satu orang yang jual. Mencari kencur hanya ada satu penjual karena penjualnya liburan tahun baru. Begini mungkin ya, pasar yang jauh dari pegunungan dan lautan. Sayur terbatas dan ikanpun juga terbatas. 😀 Sungguh paragraf ini mirip curhatan emak-emak yang lagi mengeluhkan barang belanjaan dapur naik. Tapi justru karena itu semua naik, saya ikut merasakan dampaknya.

Siangnya saya harus kembali ke pasar untuk membeli plastik kue. Karena menunggu penjual yang masih mengambil kue pastel, saya duduk di teras toko. Di depan saya ada pohon keres. Di bawahnya duduk dua orang yang sudah tua. Laki-laki dan perempuan. Saya tidak kenal, tapi wajah mereka berdua tidak asing bagi saya, karena saya sering lewat pasar ini. Mereka mengobrol sambil Nenek itu mencari keres yang siap dimakan. Saking lamanya menunggu saya ikutan berdiri dan menunjukkan ke Nenek mana buah yang masak dan siap diambil.

Akhirnya kami menjadi tiga orang yang asyik berdiri di bawah pohon keres di siang bolong. Kami asyik memperbincangkan tingkat kematangan keres dan rasanya yang seperti cherry itu. Saya melihat Nenek itu senang, ceria. Jadi bertanya-tanya, apakah kalau sudah tua nanti saya bisa bahagia dengan hal-hal sederhana seperti ini? Sesederhana mencari buah keres di depan rumah tatkala siang? Entahlah, semua hari esok adalah misteri.

Pasar ini pasar Talok namanya, talok sendiri artinya sama dengan keres. Dan pasar ini memang banyak sekali pohon keresnya. Beberapa sudah ditebang tapi satu dua masih ada di sekitarnya.

Malamnya saya balik ke Surabaya, saya masuk kantor di tanggal 2 Januari. Terpaksa melewatkan resepsi pernikahan karena saya tidak bisa mengambil cuti. Saya kembali ke Surabaya dengan naik kereta Pasundan pukul 18.31. Saya minta di antar pukul lima sore saja ke stasiun, agar saya bisa bersantai dan sholat Magrib di sana sekalian. Tapi sepupu saya bersikeras mengantar saya sehabis Magrib (yang itu artinya jam enam), dengan alasan jarak rumah saya dengan stasiun bisa ditempuh dengan waktu tempuh 15 menit. Wew, Itu lewat jalan tol, Kang? :O

Ternyata kami menempuh perjalanan hampir 30 menit. Meski sepeda motor melaju dengan kecepatan 70 km/jam, (yang harusnya memang bisa sampai dalam waktu 15 menit ke stasiun) tapi ternyata hujan dua kali menghentikan kami. Kami berhenti untuk memakai jas hujan, kemudian jalan lima kilometer hujan berhenti, kami lepas. Jalan sepuluh kilo hujan lagi, kembali kami memakai jas hujan sampai akhirnya kami memutuskan tetap memakainya sampai di stasiun meskipun wilayah Caruban kering kerontang.

Kami seperti batman ditengah jalan~

Belum lagi drama ditengah jalan mata kami kemasukan hewan-hewan kecil, yang tatkala surup banyak sekali beterbangan. Mata saya sampai merah seperti orang yang baru menangis. Kami bandel sih, tidak ada yang mau memakai helm. Padahal Ibu sudah mengingatkan.

Sampai di stasiun, kereta Pasundan sudah datang, saya berlari dan tak peduli dengan jas hujan yang saya serahkan begitu saja kepada sepupu saya. Lima menit lagi adalah jam keberangkatan. Saya masih heboh di depan layar komputer untuk mencetak tiket boarding pass, pasalnya saya lupa kode pemesanan saya. Kalau NIK sih hapal, tapi ternyata pake NIK ga bisa. Malah muncul tulisan, “data tidak ditemukan”, sampe mikir kalau saya salah beli tiket, ga lucu kan kalau saya pulang lagi. NIK bisa digunakan untuk cetak tiket sepertinya. Saya mempersilahkan orang di belakang saya memakai komputer terlebih dahulu, sementara saya mencari email tiket yang berisi kode pemesanan. Dasar orang panik, ga inget mana yang diminta. Wkwkwk. 😀

Beruntunglah waktu itu ada kereta bisnis yang lewat, Pak Gumbik (salah satu petugas loket pemeriksaan) meminta saya dan beberapa penumpang Pasundan untuk menunggu dulu di dalam ruang tunggu. Akhirnya kami malah berangkat sekitar jam 18.40an.

Di kereta saya dipertemukan dengan seorang Ibu-Ibu yang membawa satu putranya, mereka naik dari Jogja dan mengakhiri perjalan di Surabaya juga. Kami tidak saling tahu nama, tapi akhirnya kami mengobrol sampai di Surabaya. Kami mengobrol tentang Ngawi, Rumah Makan Duta, Bis Eka dan segala hasil bumi orang desa.

“Orang desa itu ya Mbak, baik banget, karyawan saya itu panen melon, eh dia rela bawain sampai ke Surabaya. Katanya nitip buat saya. Padahal di Surabaya melon itu banyak Mbak.” Ibunya bercerita, disambung dengan tawa riangnya karena senang.

Iya, benar. Beberapa kali saya merasakan itu. Ibu saya sendiri sering kali menitip hasil panen untuk Ibu kos saya. Kacang hijau, melon kadang juga kacang tanah. Mereka belum pernah bertemu, tapi sudah sering berikirim-kiriman oleh-oleh dan saya adalah kurirnya. Sungguh Ibu kos dan Ibu saya sudah seperti saudara saja.

Kereta Pasundan terlambat 20an menit ketika sampai di Surabaya. Pada akhirnya saya kembali ke Surabaya dan kembali dengan rutinitas seperti biasanya.

Desember ke Januari itu dekat, sekali. Tapi Januari ke Desember itu jauh, banget.

*bulek Hana pada suatu ketika. (saya nambahi kata penegasannya saja)

Dan saya ingin berterima kasih kepada semuanya…

Terima kasih 2017. Saya senang bertemu denganmu.

Terima kasih juga untuk teman-teman di jagat maya wordpress ini. Saya senang berkawan dengan teman-teman semua sampai detik ini. Selamat tahun baru 2018. Semoga semua sehat dan berbahagia selalu.

Terakhir, saya rindu dengan kalimat, “Ikhaaaa… 2017 kita ini” 😀

80 thoughts on “Terima Kasih :)

    1. Dan karena itu acara pernikahan pastilah dibaliknya ada pertanyaan “kapan kamu nyusul nikah?” Dari setiap saudara-saudara yang ngumpul 😂😂😂

      Banyaak Mbak, ehm apa ya.
      2017 saya banyak kopdar sama temen2 bloger. Ke Jakarta untuk kedua kalinya. Dan lebih sering naik kereta. Dll 😅
      *ga tahu kenapa saya sukaa sekali naik kereta.

      Like

  1. Senpai aku mau komen, tapi banyak.

    Pertama, keres itu apa ya ka? Ko dikotaku gak ada, apa beda namanya ya😑

    Kedua, yang paragraf tentang kirim-kirim melon, kok aku adem sekali bacanya😅

    Ketiga, ‘denganmu’ disini itu maksudnya siapa? Wkwkwwkwk😂

    Liked by 1 person

    1. Keres itu buah Kersen, Dika. Yang buahnya kecil-kecil, kalau tua warnanya merah. Rasanya manis. Tahu ga?😀

      Hihi. Iya begitulah Dika. 😃

      Aku nyari kata itu sampe baca ulang, ternyata ada di bawah sendiri ya. *yang nulis, tapi lupa.
      “..mu” itu maksudnya ngomong sama tahun Dika, 2017.
      *ngomong ke benda mati yang tetap bergerak. Ialah, waktu itu sendiri.😂

      Like

  2. Tadinya mau tanya buah keres itu apa, eh udah ada di komen atas. ternyata buah kersen, di halaman rumahku juga dulu ada buah kersen, tp sekarang udah tumbang karena sering dipanjat sama bocah-bocah hehe. Btw mba, aku jg sering jadi batman di tengah jalan kalau naik motor sama ayah, ayahku super-super berlebihan sih orangnya haha.

    Liked by 2 people

  3. Mba Ikha, selamat membersamai tahun 2018 yaa. Semoga banyak kesan bersamanya. Senang bertemu sapa dengan Mba Ikha sejak tahun 2017, sejak kapannya yaa? Aku lupa. Tapi, mba Ikha ada dalam ingatan, meski jauh dari tatapan. 🙂 🙂 🙂

    Liked by 1 person

      1. Iya, iyaa Mba. 🙂
        Aamiin ya Allah, mari menyusuri hari-harinya bersama harapan yang baik, yuuu Mba Ikha. #pelukjauuuhbersamasenyumanmenebar, banyak-banyakiiin aaa…. 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 😀

        Liked by 1 person

  4. Setidaknya mbak Ikha tau standar harga cabe disebut naek.
    Kalo aku kepasar, terus beli cabe sekilo 100rb pun mungkin aku anggap wajar aja, karna sejujurnya aku gak tau harga pasaran cabe.
    Sungguh tragis nasib ku mbak Ikhaaa….
    😭😭😭

    Liked by 1 person

  5. Lucu banget ini 😂😂😂
    Begitu toh cerita lengkapnya hampir telat naik kereta. Eh harusnya emang telat kan ya. Syukur keretanya lebih telat wkwk

    Salam buat kakek nenek di bawah pohon keres itu 😂 btw kersen di tempatku bilangnya ceri wkwk. Grande banget yak

    Liked by 1 person

    1. keretanya telat karena nunggu akuuu ituuu, rejeki anak sholehah kan. wkwkwk

      kalau ketemu lagi Fadel, insyaAllah disampaikan. “nek dapet salam dari putra Batam”, gitu ya. ceri khas Indonesia ya 😀

      Liked by 1 person

      1. Karena pohon pertama dulu tumbuh dekat parit, biasanya yang suka makan ceri kan burung, pas burungnya minum, eh, sisa bijinya jatuh. tanahnya lembab terus tumbuh, pohon selanjutnya tumbuh karena terbawa oleh air parit. *sungguh, analisa model apa ini, mengarang belaka 😀
        coba teliti Del, ini penerapan ilmu ekologi mungkin. hahaha

        Liked by 1 person

Leave a comment